Pukul 4.05,
alert di hpku membangunkan. Ia ikut bangun. Padahal, aku tahu
baru pukul
23.30, ia bisa tidur setelah berjib aku dengan kerjanya, kerja
rumah
tangga, urusan dua anakku, dan mengurusi aku sebagai suami.
Belum lagi,
pukul 01.15 terbangun untuk sebuah interupsi.
Ups,
rupanya ia lupa menyetrika baju kantorku. Aku mandi, shalat lail dan
shalat
subuh. ia selesai pula menyelesaikan itu. Plus, satu stel pakaian
kerjaku
telah siap.
Aku siap
berangkat. Ah, ada yang tertinggal rupanya. AKu lupa memandangi
wajahnya
pagi ini. "Nda, kamu cantik sekali hari ini," kataku memuji.
Ia
tersenyum. "Bang tebak sudah berapa lama kita menikah?" Aku tergagap
sebentar.
Melongo. Lho, koq nanya itu. hatiku membatin. Aku berhenti
sebentar dan
menghitung sudah berapa lama kami bersama. Karena,
perasaanku
baru kemarin aku datang ke rumahnya bersama ust. Bambang
untuk
meminangnya."Lho, baru kemarin aku datang untuk meminta kamu
jadi
istriku dan aku nyatakan ‘aku terima nikahnya Herlinda Novita Rahayu
binti Didi
Sugardhi’ dengan mas kawin sebagaimana tersebut tunai." Kataku
cuek
sembari mengaduk kopi hangat rasa cinta dan perhatian darinya.
Ia tertawa.
Wuih, manis sekali. Mungkin, bila kopi yang aku sruput tak perlu
gula.
Cukuplah pandangi wajahnya. "Kita sudah delapan tahun Bang."
terakhir
yang ia ajukan.
Aku
buru-buru. "Hati-hati yah dijalan." Sejatinya, aku ingin ngobrol
terus.
sayang, KRL
tak bisa menunggu dan pukul 7.00 aku harus sudah stand by di
ruang
studio sebuah stasiun radio di Jakarta.
Aku di
jalan bersama sejumlah perasaan. Ada sesuatu yang hilang. Mungkin
benar kata
Dewa, separuh nafasku hilang saat kau tidak bersamaku. kembali
wajahnya
menguntit seperti hantu. Hm, cantiknya istriku. Sayang, waktu
tidak
berpihak kepadaku untuk lebih lama menikmatinya.
Sekilas,
menyelinap dedaunan kehidupan delapan tahun lalu. Ketika tarbiyah
menyentuh
dan menanamkan ke hati sebuah tekad untuk menyempurnakan
Dien. Bahwa
Allah akan memberikan pertolongan. Bahwa rezeki akan datang
walau tak
selembar pun kerja kugeluti saat itu. Bahwa tak masalah
menerapkan
prinsip 3K (Kuliah, Kerja, Kawin).
Sungguh,
kala itu kupikir hanya wanita bodoh saja yang mau menerimaku,
seorang
jejaka tanpa harapan dan masa depan. Tanpa kerja dan orang tua
mapan.
Tanpa selembar modal ijazah sarjana yang saat itu sedang kukejar.
Tanpa
dukungan dari keluarga besar untuk menanggung biaya-biaya
operasional.
Dan,
ternyata benar. Kuliahnya dan kuliahku bernasib serupa. Berantakan.
Waktuku
habis tersita untuk mengais lembar demi lembar rezeki yang halal.
Sementara
ia harus merelakan kuliahnya di sebuah perguruan tinggi negeri
untuk si
Abang, anakku.
Kehidupan
harus terus berjalan. Kutarik segepok udara untuk mengisi paruparuku.
Kurasakan
syukur mendalam. Walau tanpa kerja dan orang tua
mapan,
‘kapal’ku terus berlabuh. Bahkan, kini sudah mengarung lebih stabil
dibanding
dua dan tiga tahun pertama.
Ternyata,
memang benar Allah akan menjamin rezeki seorang yang
menikah.
Allah akan memberikan rezeki dari arah yang tidak terduga.
Walaupun
tetap semua janji itu muncul dengan sunatullah, kerja keras. Kerja
keras itu
terasa nikmat dengan doa dan dampingan seorang wanita yang
rela dan
ikhlas menjadi istriku.
segala
kesibukan, mempersiapkan makanan untuk si Abang dan Ade yang
mau
berangkat sekolah, mempersiapkan tugas-tugas untuk pekerjaanya,
belum lagi
mengurusi tetek bengek rumah tangga. Kelelahan seolah
menggeser
kecantikan dan kesegarannya. Untunglah, saat aku pulang, ia
bisa
mengembalikan semua keceriaan itu dengan seulas senyum yang
menyelinap
dibalik penat dan kelelahan.
Istriku
cantik sekali pagi ini. Maafkan aku tak bisa menemanimu. Namun,
doa dan
ridhaku selalu bersamamu.
Sayangku,kumohon
dekat di sini
temani jasadku yang
belum mati
Aku melayang
---------
fikriaty
ibnu abbas
No comments:
Post a Comment